Portalborneo.or.id, Samarinda – Proses persidangan kasus penggelapan sertifikat tanah yang menjerat pasangan suami-isteri, Rini Mafriani dan Muhammad Fachrurrozi, kembali menuai perhatian, setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Samarinda tidak menahan dokumen bukti berupa sertifikat tanah dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).
Pemeriksaan saksi dalam persidangan ini menjadi sorotan, di mana dokumen yang diduga digelapkan oleh terdakwa seharusnya ditahan untuk kepentingan penyelidikan.
Kuasa Hukum pelapor, Adi Purna Pratama, menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan tersebut.
Adi menyoroti Pasal 39 KUHP ayat 1 yang memberikan kewenangan kepada pihak berwenang untuk merampas dokumen yang terkait dengan kejahatan. Dalam kasus ini, harapannya agar dokumen tersebut dihadirkan dalam persidangan dan ditahan oleh JPU tidak terpenuhi.
“Dalam Pasal 39 KUHP ayat 1 disebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan dapat dirampas oleh pihak berwenang,” ungkap Adi pada Selasa (27/2/2024).
Dengan ketidakditahannya dokumen tersebut, Adi mengancam akan menempuh jalur hukum alternatif. Salah satu langkah yang diterangkan oleh Adi adalah melaporkan salah satu saksi dengan dugaan tindak pidana penadahan sesuai dengan Pasal 480 ayat 1 KUHP.
Meski demikian, proses persidangan terus berlanjut di Pengadilan Negeri Samarinda, dengan nomor registrasi perkara 93/Pid.B/2024/PN Smr.
Fokus kini beralih pada absennya Sertifikat Tanah Asli (SHM) yang tidak dihadirkan dalam persidangan. Keberadaan SHM yang belum terungkap menciptakan spekulasi di kalangan masyarakat.
Muncul rumor terkait kemungkinan adanya kolusi antara oknum Kejaksaan dengan oknum tersangka, yang semakin menghangatkan perbincangan di sekitar kasus ini. Persidangan terus menjadi pusat perhatian publik, sementara pihak terkait diharapkan memberikan klarifikasi terkait penanganan barang bukti dan perjalanan persidangan ini.
Tim Redaksi Portalborneo.or.id/FRC