Portalborneo.or.id, Samarinda – Aliansi Cipayung Plus Samarinda yang terdiri dari GMKI, HMI, PMII, PMKRI, KAMMI, dan GMNI menggelar aksi lanjutan di depan Polresta Samarinda pada Jumat (6/9/2024).
Aksi yang dimulai pada pukul 16.00 WITA ini merupakan tindak lanjut dari press release yang mereka lakukan pada 28 Agustus 2024 lalu, di mana mereka memberikan waktu 3×24 jam kepada Kapolresta Samarinda untuk merespons tuntutan mereka.
Dalam aksi tersebut, massa membawa beberapa poin tuntutan utama.
Pertama, mereka mendesak Polri untuk mencopot Kapolresta Samarinda yang dianggap sebagai dalang tindakan represif terhadap masyarakat sipil.
Kedua, mereka mendesak pengusutan tuntas dan adil terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi dalam aksi tersebut.
Selain itu, Aliansi Cipayung Plus Samarinda juga melayangkan mosi tidak percaya kepada Polri dan Polresta Samarinda atas sejumlah catatan buruk, terutama terkait peristiwa yang mereka sebut sebagai “September Hitam.”
Tuntutan dari Berbagai Organisasi
Jendlap aksi, Taufikkudin, menjelaskan bahwa mereka telah menyiapkan kajian terkait aksi yang dilakukan dan menyerahkannya kepada pihak kepolisian.
Yonatan Devi RianTori, Sekretaris Cabang GMKI Samarinda, menyatakan bahwa aksi ini juga merupakan bentuk pertanggungjawaban kepolisian atas tindakan represif terhadap massa aksi.
“Pentingnya kepolisian menangani kasus-kasus dalam masyarakat adat secara humanis dan sesuai dengan hak asasi manusia,” terang Yonatan.
Fikri, perwakilan dari KAMMI Samarinda, turut mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh Kapolresta dan meminta agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang.
Sementara itu, Ketua PMKRI Samarinda, Niko, mengungkapkan bahwa niat mereka datang dengan damai dan berharap Kapolresta Samarinda segera merespons tuntutan mereka, sebagaimana yang telah disepakati dalam aksi sebelumnya.
Catatan Buruk Kepolisian
Abrori, Ketua PMII Samarinda, menyoroti sejumlah kasus yang menurutnya menambah catatan buruk kepolisian dalam lima tahun terakhir, seperti peristiwa Rempang, Kanjuruhan, dan dugaan mark-up dalam pembelian gas air mata.
Ia meminta agar kepolisian menindaklanjuti hal ini secara bijaksana sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang Kepolisian, yang mengamanatkan polisi untuk menjaga, melindungi, dan mengayomi masyarakat.
Di tempat yang sama, Sharil, Ketua HMI Samarinda, juga mengecam tindakan aparat yang dianggap bertindak semena-mena, dan menyebut bahwa ia sendiri menjadi korban dalam salah satu aksi yang sempat terekam oleh media.
Respon Kepolisian Mengecewakan
Wakapolres Samarinda, AKBP Eko Budiarto yang mewakili Kapolresta menemui massa aksi, namun dianggap tidak memadai oleh para demonstran.
Dalam pertemuan singkat tersebut, Wakapolres hanya menyatakan bahwa tuntutan massa akan “ditampung,” tanpa memberikan respons konkret.
Kekecewaan pun dirasakan oleh massa aksi, yang menilai tuntutan mereka tidak direspon secara serius.
Cipayung Plus Samarinda memberikan waktu tambahan selama lima hari kepada Kapolresta Samarinda untuk merespons tuntutan secara langsung. Jika dalam waktu tersebut tidak ada jawaban yang memuaskan, mereka berjanji akan menggelar aksi lanjutan dengan jumlah massa yang lebih besar.
Tim Redaksi Portalborneo.or.id/FRC