Portalborneo.or.id, Samarinda – Kebijakan baru Presiden Joko Widodo yang mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) menuai kontroversi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Salah satu penentang kebijakan ini adalah Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur, Muhammad Samsun. Ia dengan tegas menyatakan bahwa ormas seharusnya fokus pada pengabdian masyarakat dan menjaga stabilitas anggotanya tanpa terlibat dalam bisnis pertambangan.
“Selama ini, ormas berfungsi untuk mengabdi dan menjaga stabilitas anggotanya tanpa orientasi keuntungan. Jika mereka diberikan izin untuk mengelola WIUPK, aktivitas penambangan akan semakin masif,” ujar Samsun saat ditemui di Samarinda.
Samsun juga mengkhawatirkan potensi kecemburuan sosial di Kalimantan Timur, yang memiliki banyak lembaga adat. Menurutnya, lembaga adat bisa saja menuntut hak yang sama, yang pada akhirnya akan memicu gesekan sosial.
“Kebijakan ini bisa memecah belah masyarakat dan menciptakan dikotomi sosial yang tajam antar ormas,” lanjut Samsun.
Ia menekankan pentingnya ormas keagamaan untuk kembali ke khitohnya, yakni membina umat, menjaga kerukunan bangsa, dan tetap independen sehingga dapat tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Samsun menambahkan bahwa ormas keagamaan sebaiknya tidak ditarik ke ranah bisnis karena hal ini bisa memengaruhi netralitas mereka.
Di sisi lain, pendukung kebijakan ini berargumen bahwa langkah tersebut dapat memberdayakan ormas dan memperluas peran mereka dalam pembangunan ekonomi.
Meski demikian, banyak pihak menilai bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam mengimplementasikan kebijakan ini untuk menghindari potensi konflik sosial yang lebih besar.
Tim Redaksi Portalborneo.or.id/FRC